Anak adalah buah hati yang paling berharga. Saat membawa anak ke dokter, tentu hal pertama yang perlu kita lakukan sebagai orang tua adalah memberi kepercayaan kepada dokter untuk mengatasi kesehatan anak. Namun, nyatanya anak paling sering mengalami misdiagnosis dan salah diagnosis. Mengapa demikian dan apa bahayanya? Adakah yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal ini terjadi?
Dalam membuat diagnosis, ada langkah-langkah yang wajib dilakukan oleh seorang dokter. Yang pertama adalah anamnesis, yaitu bertanya mengenai keluhan-keluhan yang dirasakan pasien. Karena banyak penyakit memiliki gejala yang hampir serupa, seorang dokter akan memetakan kemungkinan-kemungkinan diagnosis yang mungkin di dalam kepalanya. Setelah itu, barulah dokter menyingkirkan satu per satu ataupun mencari gejala lain yang memperkuat kemungkinan diagnosis tersebut. Dari anamnesis saja, dikatakan bahwa 70% penyakit dapat didiagnosis.
Itu saja tidak cukup. Untuk memperkuat dugaannya, dokter harus melakukan pemeriksaan fisik. Yaitu pemeriksaan dengan cara melihat (inspeksi), menyentuh, menekan, atau meraba dengan tangan (palpasi), mengetuk (perkusi), dan mendengarkan melalui stetoskop (auskultasi). Hasil pemeriksaan dapat membantu dokter menegakkan diagnosis, atau malah menimbulkan kemungkinan diagnosis lain. Oleh karena itu, terkadang diperlukan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, pemeriksaan rontgen, dan lain-lain.
Meski tampaknya mudah, namun untuk menegakkan suatu diagnosis sebenarnya memerlukan pengetahuan, keterampilan, perawatan, dan pengalaman yang luas. Sejumlah penyakit dapat memiliki gejala yang sama. Apalagi jika gejala tersebut adalah gejala umum, seperti sakit kepala, demam, atau nyeri otot. Menggabungkan antara hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang tidak jarang menjadi tantangan tersendiri bagi dokter. Oleh karena itu, menentukan diagnosis adalah bagian dari seni pengobatan, di mana setiap kasus dilihat secara berbeda dan tidak bisa dihitung secara matematis.