Ketulian pada orang dewasa, umumnya bukan karena kelainan kongenital. Meski demikian, ada ketulian yang disebabkan faktor genetik yang baru muncul saat penderitanya dewasa.
Meski awalnya seseorang individu memiliki pendengaran normal, ia dapat mengalami ketulian akibat mendengarkan suara keras dalam waktu berlebihan. Contoh yang nyata adalah saat mendengar konser musik, atau mendengar suara ledakan bom. Namun contoh lain yang sering tidak disadari adalah kebiasaan mendengarkan musik dengan volume keras, malas mengenakan pelindung telinga di tempat kerja yang bising, atau menangkap polusi suara di sepanjang jalan yang padat.
Sebagai patokan berapa lama seseorang boleh mendengarkan suara bising, terutama di tempat kerja, ada yang disebut dengan nilai ambang batas (NAB). NAB adalah intensitas tertinggi suara dan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar untuk waktu terus-menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Untuk mereka yang bekerja di kebisingan 85 dB, maka hanya boleh bekerja selama 8 jam per hari. Jika kebisingan di tempat kerja adalah 88 dB, maka hanya boleh bekerja selama 4 jam, 91 dB selama 2 jam, 97 dB selama 1 jam, dan 100 dB selama ¼ jam per hari. Tingginya intensitas kebisingan ini dapat diakali dengan penggunaan alat pelindung berupa ear plug atau ear muff.
Masalahnya, begitu orang selesai bekerja, mereka masih harus melakukan perjalanan pulang yang bising. Belum lagi jika selama perjalanan yang bersangkutan mendengarkan musik menggunakan ear phone. Oleh karena beberapa hal diatas maka diperkirakan penderita tuli berusia muda akan semakin meningkat.
Penderita ketulian harus menghadapi dampak fungsional, sosial dan emosional, serta ekonomi akibat gangguannya. Secara fungsional, penderitanya akan menghadapi tantangan dalam melakukan pekerjaan berkelompok atau yang memerlukan komunikasi. Kesalahpahaman komunikasi atau ketidakmampuan mendengar mungkin dapat membahayakan dirinya ataupun orang lain di sekitarnya. Tidak jarang, penderita gangguan pendengaran dan ketulian diasingkan dari pergaulan. Baik karena terbatasnya komunikasi maupun stigma negatif dari orang di sekitarnya. Kesulitan belajar akan menyebabkan orang yang tuli dianggap bodoh. Masalah komunikasi juga dapat timbul dengan pasangan atau dengan keluarga. Akhirnya semua ini dapat menyebabkan rasa rendah diri, kesepian, dan frustasi.
Secara ekonomi, banyak perusahaan yang tidak mau menerima karyawan dengan ketulian. Selain karena keterbatasan komunikasi, mungkin pekerjaan dapat membahayakan diri ataupun orang lain. Perusahaan juga mungkin segan terhadap pendapat karyawan lain dan tidak mau repot membuat peraturan-peraturan baru terkait karyawannya yang tuli. Akibatnya, angka pengangguran pada penderita ketulian menjadi tinggi. Akses terhadap edukasi dan rehabilitasi vokasional sangat disarankan untuk penderita ketulian berusia dewasa. Terapi wicara dan penggunaan alat bantu dengar yang tepat dapat membantu memperbaiki kendala komunikasi.