Hukum Sunat Perempuan Dalam Islam Menurut Pandangan Ulama

Hukum sunat perempuan di masyarakat masih menjadi fenomena dan mengundang perdebatan. Sementara, menurut ajaran agama Islam, terkait hukum sunat perempuan memiliki berbagai pendapat yang berbeda dari masing-masing ulama. Mau tahu seperti apa? Berikut penjelasannya.

Menurut Pandangan Ulama

Ustaz Ahmad Sarwat, seorang ahli fiqih dari Rumah Fiqih Indonesia (RFI), mengatakan, jika dalam Al-Qur’an dan hadits terdapat anjuran hukum sunat perempuan. Terkait hal tersebut, para ulama fiqih memiliki perbedaan pendapat berkaitan hukum sunat perempuan. Dalil untuk sunat anak perempuan mengacu pada Alquran maupun hadis. Pensyariatan sunat perempuan mengacu pada Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 123, yang berisi, “Kemudian akan kami wahyukan kepadamu Muhammad, bahwa ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif dan bukakanlah dia Ibrahim termasuk kepada orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Sunat Perempuan Berdasarkan Hadits

sunat perempuanMelalui hadits dari Ibnu Abbas mengatakan jika Rasulullah SAW bersabda: “Tindakan khitan itu wajib untuk laki-laki dan memuliakan untuk perempuan.” (HR Ahmad dan Baihaqi).

Sedangkan dalam hadits lainnya melalui riwayat Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,”Jika Nabi Ibrahim AS sunat saat berusia 80 tahun dengan menggunakan alat kapak.” (HR Bukhari dan juga Muslim).

Dalam hadist lainnya Nabi Muhammad SAW melalui riwayat dari Aisyah RA:”Maka potonglah rambut kufur milikmu dan berkhitanlah.” (HR. Muslim)

Dalil-dalil tersebutlah yang menunjukan dasar pelaksanaan tindakan sunat. Dalam hal ini, khusus untuk hukum sunat perempuan, para ulama fiqih terbagi dalam 5 pendapat berbeda.

Mazhab Syafi’i

Menurut Mazhab Syafi’i, hukum sunat perempuan dan laki-laki adalah wajib. Sementara menurut pandangan Hanafi, Hambali dan Maliki sunat perempuan termasuk dalam taklifi, melainkan keutamaan atau afdhaliyah. Ketiga mazhab tersebut mengatakan jika khitan yang perempuan jalani adalah tindakan pemuliaan Islam atas perempuan.

Mazhab Hanafi

Mazhab Hanafi sepakat jika tindakan sunat untuk perempuan tidak wajib. Mayoritas ulama pada mazhab hanafi memandang praktik ini sebagai bentuk kemuliaan untuk perempuan.

Misalnya, ulama dari mazhab hanafi, yaitu Ibnul Humam dalam kitab Fathul Qadir menjelaskan jika khitan sebagai bagian dari zakar atau kemaluan pada laki-laki dan farji atau kemaluan perempuan, hukumnya sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan.

Ulama lain dari mazhab hanafi, yaitu Az-Zaila’i juga menjelaskan jika Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan jika tidak sunnah jika perempuan menjalankan tindakan sunat tetapi sebuah kemuliaan jika laki-laki bisa menambahkan kehangatan dan juga keintiman dalam berhubungan suami istri.

Mazhab Maliki

Menurut pandangan mazhab maliki, hukum sunat perempuan sebagai bentuk kemuliaan. Al-Qarafi, dalam kitab Adz-Dzakhirah, menjelaskan, makruh untuk melakukan tindakan sunat pada anak saat hari kelahiran ataupun hari ketujuh. Hal ini karena tradisi tersebut mirip dengan orang Yahudi. Sementara itu, usia anak untuk khitan adalah saat tujuh tahun, sebagaimana anjuran mereka untuk menjalankan shalat yaitu pada umur tujuh hingga 10 tahun.

Ibnu Hubaib juga menjelaskan jika sunat bagi laki-laki adalah sunnah dan kemuliaan untuk perempuan. Ulama lain dari mazhab maliki yaitu Al-Hathab ar-Rukaini dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil menjelaskan, sunat untuk perempuan adalah perbuatan yang mulia. Ulama

Mazhab Hanbali

Menurut pandangan mazhab hanbali tindakan sunat bagi laki-laki adalah wajib. Sedangkan, untuk perempuan tidak wajib. Ulama dari mazhab hanbali yaitu Ibnu Qudamah, dalam kitab al-Mughni menyatakan jika, “Bagi laki-laki tindakan berkhitan adalah wajib, sedangkan, untuk perempuan, tindakan ini merupakan bentuk kemuliaan untuk yang mengerjakannya.”

Mazhab Syafi’i

Menurut pandangan Imam Syafi’i tindakan sunat bagi laki-laki dan perempuan adalah wajib. Ulama mazhab syafi’i yaitu An-Nawawi dalam kitab Minhaj at-Thalibin wa Umdatul-Muftiyin fi al-Fiqh menjelaskan jika pada perempuan sunat adalah dengan memotong sebagian daging kecil yang berada pada bagian atas kemaluan sedangkan pada laki-laki adalah dengan menghilangkan sebagian kulit penutup pada penis dan bagi laki-laki sebaiknya menjalani tindakan ini sebelum umur 7 tahun.

Ulama lain dari mazhab syafi’i yaitu Zakaria al-Anshari dalam kitab Asnal Mathalib Syarah Raudh ath-Thalib menjelaskan jika sunat pada perempuan adalah dengan memotong sebagian daging kecil yang ada pada bagian atas kemaluan perempuan, yang letaknya dekat keluar urine dan berbentuk mirip jengger ayam serta hukumnya afdhal atau utama.