Pernahkah saat Anda sakit, pergi ke dokter, mendapat resep, kemudian meng-Google obat tersebut terlebih dahulu sebelum membawanya ke Apotek? Bagi yang pernah melakukannya, mungkin kaget menemukan bahwa obat yang diberikan tidak ada kaitannya dengan penyakitnya. Tidak, bukan dokter yang salah memberikan obat. Mungkin karena dokter memberikan obat tersebut secara off-label.
Apa itu off-label?
Setiap obat yang dipasarkan harus mendapat lisensi dari BPOM. Untuk mendapatkannya, obat harus telah melalui berbagai penelitian untuk menentukan indikasi, kontra indikasi, dosis, efek samping dan tingkat keamanannya. Obat ini hanya boleh dipasarkan berdasarkan indikasi, yang tercantum pada label atau etiket yang disisipkan dalam kemasan obat. Meski demikian, seringkali obat tersebut memiliki manfaat lain, yang belum tercantum dalam daftar indikasi obat. Inilah yang disebut dengan penggunaan obat secara off-label.
Peresepan obat off-label dapat terjadi karena beberapa hal. Ada beberapa obat yang baru diketahui memiliki manfaat lain setelah beredar di pasaran. Kemungkinan lain, manfaat tersebut masih dalam penelitian, perdebatan, atau bukti yang menunjang masih kurang.
Pada dasarnya, dalam meresepkan obat masing-masing dokter memiliki pertimbangan. Pemilihan obat dilakukan dengan harapan memberikan yang terbaik bagi kondisi pasiennya. Dalam hal ini tentunya kesembuhan, atau mengurangi rasa tidak nyaman yang dialami pasien. Pemberian obat tentunya tidak bisa sembarangan. Harus berdasarkan bukti ilmiah atau penelitian yang telah ada. Ini disebut dengan evidence based medicine. Selain itu, perlu juga mempertimbangkan manfaat dibanding risiko yang mungkin terjadi akibat obat.
Hal yang sama juga dilakukan saat dokter memberikan obat secara off label. Bukan tidak mungkin obat yang awalnya dipergunakan untuk indikasi satu, kemudian hari menjadi obat pilihan untuk kondisi yang lain. Misalnya obat antidepresi yang digunakan untuk mengatasi nyeri kronik atau migren. Contoh lain penggunaan obat secara off-label adalah pemberian obat oleh dokter anak, yang seringkali menemui kesulitan dalam menentukan formula obat yang sesuai dengan usia anak, sehingga menggunakan obat untuk dewasa yang dimodifikasi. Dalam label mungkin tidak tercantum dosis untuk anak-anak, namun dokter menyesuaikannya dengan berat badan anak atau memberikan obat tablet dalam bentuk puyer. Contoh lainnya adalah pemberian probiotik yang biasanya diberikan secara per oral, namun pada kasus vaginosis diberikan secara per vaginam.