Hukum sunat bagi perempuan memang masih mengundang perdebatan terutama di kalangan ulama dalam agama Islam. Fenomena sunat bagi perempuan bukan merupakan hal baru dimana hal ini sudah lama ada di kelompok masyarakat tertentu dan menjadi tradisi. Pelaksanaan sunat perempuan berbeda pada setiap tempat. Sunat sendiri adalah kegiatan memotong sebagian dari organ intim ataupun kelamin. Hukum sunat pada perempuan adalah dengan membuang sebagian klitoris atau memotong bibir vagina pada perempuan.
Dalam bahasa Arab kegiatan sunat perempuan disebut sebagai khafadh atau khifadh yang memiliki arti memotong bagian ujung klitoris pada perempuan. Hukum sunat bagi perempuan sendiri berarti menurunkan kepekaan atau fungsi kelamin pada perempuan. Hal ini bertujuan agar libido atau kekuatan seksual pada perempuan, khususnya saat remaja bisa terkendali.
Sunat perempuan di Indonesia
Khitan atau sunat dalam tradisi masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam berarti amalan atau praktik agama dan juga tradisi budaya yang sudah sejak lama serta turun-temurun dalam masyarakat. Kegiatan sunat tidak hanya untuk laki-laki namun, menurut beberapa tradisi adat, perempuan juga perlu menjalani kegiatan sunat. Kegiatan sunat sendiri menurut masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang sakral dan mirip dengan tradisi pernikahan. Namun parade dan keberlangsungan perayaan setelah tindakan sunat umumnya hanya saat laki-laki yang menjalani bukan pada perempuan.
Dr. Agus Hermanto, MHI, Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampung, mengatakan jika dalam Islam hukum sunat bagi perempuan adalah dengan mengiris sedikit saja alat kelami pada perempuan sampai keluar sedikit darah, tanpa perlu membuangnya apalagi sampai menyakiti perempuan. Sementara itu, Syaikh Sayyid Sabiq mendefinisikan hukum sunat bagi perempuan adalah dengan memotong bagian atau dari faraj atau dalam tradisi kuno masyarakat menyebutnya sebagai sunnah muqodimah.
Sementara itu seolah peneliti Islam Husain Muhammad berpendapat, jika hukum sunat bagi perempuan sangat negatif. Hal ini karena akan menurunkan kualitas hidup perempuan dan bisa menimbulkan trauma psikologis.
Sunat perempuan, saat ini adalah dengan memotong bagian organ perempuan daerah erogen yang akan berpindah dari bagian muka ke bagian belakang liang vagina. Kondisi ini menyebabkan rangsangan dan sensitifitas pada vagina wanita menurun, dan bisa mengganggu hubungan atau aktivitas seksual pada masa yang akan datang.
Dari berbagai pandangan ulama dan juga peneliti dapat menimbulkan sebuah kesimpulan terkait hukum sunat bagi perempuan. Mereka berpendapat jika syarat utama dalam sunat perempuan adalah dengan mengiris sedikit alat kelamin atau vagina perempuan. Tindakan medis ini jangan sampai melukai, membuat berdarah dan tidak perlu membuang bagian vagina pada perempuan.
Menurut WHO
Melansir Healthline (2021) World Health Organization, atau WHO menyebut jika sunat perempuan adalah:
- Menghilangkan bagian pada permukaan klitoris secara sedikit tanpa perlu mengangkat sebagian atau seluruhnya.
- Pengangkatan bagian klitoris bersama dengan pengangkatan sebagian atau seluruh bagian dari labia minora pada wanita,
- Pengangkatan sebagian atau seluruh dari vagina wanita perlu untuk menyempitkan kembali liang vagina,
- Melubangi klitoris atau merapatkan klitoris dan labia akan melebarkan jalan pada bagian sekitar.
- Merusak bagian vagina atau memotong vagina,
- Memasukan bahan ke liang vagina dengan tujuan pendarahan bagi perempuan dan untuk menyempitkannya.
Dalam sebuah hadits Abu Dawud menjelaskan terkait hukum sunat bagi perempuan, saat seorang wanita menjalankan tindakan sunat di Madinah. Nabi Muhammad SAW berpesan agar tidak merusak (kelaminnya). Hal ini karena merupakan sebuah kemuliaan bagi perempuan.
Berdasarkan hadis tersebut para ulama berpendapat jika bukan larangan untuk melakukan tindakan sunat. Nabi hanya menegaskan tidak ada unsur kewajiban terkait sunat pada perempuan.