Sunat wanita yang dilakukan di Indonesia masih menjadi sebuah kontroversi. Sekitar tahun 2010, Menteri Kesehatan sempat mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang didalamnya menyatakan kalau metode sunat wanita hanya dilakukan dengan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa ada melukai bagian klitoris.
Seperti berdasarkan penuturan Dr. Andri Wananda MS, kalau sunat wanita hanya dilakukan dengan memotong bagian selaput yang terdapat dibagian atas klitoris. Hal tersebut tentunya sejalan dengan penjelasan berdasarkan agama dan kultural. Beliau juga menambahkan kalau sunat pada wanita harus lebih hati-hati, karena apabila selama tindakan sunat terjadi kesalahan yang menyebabkan terlukanya klitoris akan berdampak dengan menyebabkan timbulnya jaringan ikat (bekas luka). Hal itu lebih bahayanya akan menyebabkan klitoris kehilangan kemampuan peka terhadap rangsangan. Dan apabila Sunat wanita sudah sampai memotong klitoris dan labia minora atau bibir kelamin atau biasa disebut juga dengan klitoridektomi, maka tentunya hal tersebut sangat perlu ditentang karena salah dalam memahami makna sunat wanita itu sendiri.
Kliroris meiliki peran atau fungsi yang sangat penting, yaitu untuk stimulus seksual wanita. Sedangkan pada labia minora ada kelenjar-kelenjar yang dapat mengeluarkan cairan pelumas bagi vagina. Nah kalau bagian ini dihilangkan, akibatnya wanita tersebut tidak akan dapat menikmati hubungan seksualnya. “Apalagi jika sampai vaginanya kering saat melakukan hubungan seksual, maka akan timbul rasa sakit nantinya,” ungkap dr Andri. “Belum nanti ada risiko infeksi karena melukai klitoris. Klitoris ini ada yang bilang penisnya wanita,” imbuh pengajar di Universitas Taruma Negara ini.
Dijelaskan dr Andri, di Afrika biasanya untuk menakut-nakuti anak gadis agar mau di sunat biasanya dikatakan jika klitoris tak dipotong, maka bisa berkembang menjadi penis. Bahkan ada juga sunat yang mengangkat lebih banyak lagi jaringan vagina, tindakan seperti ini yang lebih berisiko dan sangat merugikan kaum wanita,” timpal dokter satu ini.
Sementara itu peneliti Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Bapak Priya Subroto mengatakan jika sunat wanita dilakukan dengan memotong klitoris, maka selain dapat menimbulkan dampak kesehatan juga akan menimbulkan dampak emosional. Mengingat di klitoris ada saraf-saraf dan pembuluh darah, maka secara fisik pemotongan bisa mengakibatkan perdarahan. “Dari segi psikis karena tempat timbulnya rangsangan, maka bisa dibayangkan jika wanita kehilangan pusat rangsangannya, ini bisa jadi penderitaan seumur hidup untuknya. Dan ini adalah salah satu dampak jangka panjangnya,” terang Priya Subroto.
Berkembang pendapat sunat perempuan dilakukan untuk mengendalikan nafsu seksual perempuan. Menurut Priya, jika di sunat habis maka perempuan tersebut tidak bisa merasakajn apa-apa. “Ada dibilang kepuasan tertentu itu bisa dicapai kurang dari 9 menit, bahkan kalau lebih dari 9 menit bisa jadi penyiksaan bagi wanitanya. Bayangkan kalau dia tidak punya klitoris,” lanjut Priya.
Jika seorang perempuan tidak punya klitoris maka justru mempercepat hubungan intim. “Perempuannya juga bisa orgasme lebih cepat kalau terbalik ya justru bisa jadi tidak terkendali, orang nggak sampai-sampai orgasmenya,” imbuhnya. “Yang jelas ini kontroversi. Dan yang buat statement itu kan laki-laki, jadi dia tidak mengerti bagaimana anatomi perempuan,” tambah Priya.
“Bahkan dibahas dalam sebuah buku mengenai varian bentuk vagina kalau bentuknya jelek ada tenaga medis yang melihat ini jadi seperti bagian dari estetika jadinya, padahal ini tidak bagus dilakukan,” imbuhnya.
Di Rumah Sunatan sebagai pusat khitan anak dan dewasa sampai saat ini belum dapat melakukan tindakan sunat wanita dikarenakan masih belum jelasnya peraturan perundang-undangan yang menjamin hal tersebut. Bahkan bisa dibilang merupakan sebuah kontroversi, karena disatu sisi agama menganjurkan melakukan sunat wanita, sedangkan dari satu sisi lain pemerintah menyatakan kalau tindakan tersebut dilarang.