Fobia seringkali dipicu oleh pengalaman traumatis. Secara psikologis, memori mengenai hal-hal yang sangat menakutkan, berbahaya, atau kesedihan akan terekam lebih kuat diingatan. Ketika seorang anak tidak mampu mengendalikan rasa takut, reaksinya berlebihan dan dampak parahnya mengganggu proses tumbuh kembang.
Bila dideteksi lebih dini, fobia bisa dikurangi, bahkan hilang. Untuk itu, orang tua harus peka dalam melihat kondisi buah hati. Ajeng menjelaskan, tahapan rasa takut pada umumnya diawali dari rasa tidak nyaman. Contohnya, anak tidak nyaman di dalam ruangan yang gelap. Dia akan bereaksi segera menyalakan lampu atau keluar dari ruangan itu. Pada kondisi fobia, reaksi yang ditimbulkan bisa sampai menangis histeris begitu lampu mati.
Dari segi perkembangan kognitif, anak usia 2–5 tahun masih berada pada tahap praoperasional. Yaitu, belum bisa membedakan antara realitas dan imajinasi. Sedangkan usia 6–12 tahun merupakan tahap konkret-operasional di mana anak sudah paham mana yang nyata dan yang tidak. Pada usia 6–12 itu, fobia sudah bisa diidentifikasi.
Perhatian bagi para orang tua, bisa jadi orang tualah yang menularkan rasa takut kepada anak. Ketika orang tua takut terhadap cicak, misalnya. Reaksi ketakutan orang tua yang berlebihan terhadap cicak menjadi model (contoh) bagi anak untuk memiliki ketakutan yang sama. Bukan cuma itu. Orang tua punya andil dalam memicu ketakutan anak. Contohnya, mereka memberikan hukuman yang tidak tepat seperti mengurung anak di kamar tertutup. Risikonya, anak mengalami fobia terhadap ruangan sempit.
Dia menganjurkan orang tua untuk menghindari bentuk hukuman seperti itu. Belum lagi, anak ditakut-takuti. Hayo, gelap, ada hantu. Hal seperti itu dianggap lucu. Padahal, itu terekam dalam memori anak hingga mengendap menjadi fobia.
Untuk mengatasi fobia anak, diperlukan support system yang kuat. Orang tua harus memberikan dukungan penuh. Cari akar fobianya. Ajeng mencontohkan seorang pasiennya yang fobia terhadap kemoceng. Setelah ditelusuri, akar fobianya adalah takut terhadap ayam karena ketika kecil pernah dikejar sampai dipatuk.
Lihat skala fobianya. Kemudian, orang tua bisa melakukan terapi behavioristic dengan desensitisasi. Orang tua bisa ”mengenalkan” anak dengan objek fobianya secara bertahap. Misalnya pada kondisi takut ular, awali dengan gambar ular tak berwarna. Lihat reaksi anak. Bila aman, lanjutkan dengan gambar ular yang berwarna.
Setelah gambar berwarna, ajak anak menonton film yang memperlihatkan ular tetapi tidak terlalu banyak. Bila anak mulai bisa mengendalikan rasa takutnya, tingkatkan lagi dengan menonton tayangan ular yang lebih banyak, menyentuh ular mainan, lalu ajak ke kebun binatang dan bertemu dengan ular di dalam kaca. Lamanya tiap tahap tidak bisa ditentukan, harus disesuaikan dengan kemampuan anak mengatasi fobia.