Terkait khitan perempuan, selain dari Al-Quran dan hadis, beberapa sumber dasar hukum Islam yang lain dapat dipertimbangkan, seperti Ijma’ dan Qiyas.
Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama pada satu zaman tertentu.
Dalam masalah khitan, baik khitan pada laki-laki maupun khitan perempuan, ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Oleh sebab itu, dapat dipastikan tidak ada Ijma’ ulama mengenai hukum khitan perempuan ataupun khitan laki-laki.
Pada laki-laki semua ulama menyarankan untuk melakukan khitan. Hanya saja saran tersebut ada yang mengatakan wajib ada yang mengatakan sunnah.
Sementara pada perempuan, ada yang mewajibkannya, menyunahkannya, dan ada juga yang memubahkannya. Oleh sebab itu, tidak ada kesepakatan saran untuk melaksanakannya.
Secara umum para ulama sepakat mengatakan bahwa khitan itu suatu hal yang atau disyari’atkan, dikutip dari Ibn Hazam dalam buku Maratibul Ijma’ dan Ibn Taimiyah dalam buku Majmu’ al-Fatawa. Namun keduanya berbeda pendapat dalam menetapkan hukumnya, apakah khitan itu wajib atau tidak.
Golongan yang Mewajibkan Khitan Perempuan
Menurut para ulama bermazhab Syafi’i, Hambali, dan Syahnun, salah seeorang ulama dari mazhab Maliki khitan adalah salah satu kalimat yang diperintahkan Allah sebagai ujian terhadap Nabi Ibrahim sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas. Berikut adalah beberapa dalil yang mereka gunakan:
- Firman Allah di dalam Q.S al-Baqarah (2):124
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.”
- Firman Allah di dalam Q.S al-Nahl (16):123
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu agar engkau mengikuti agama (ajaran) Ibrahim dengan lurus.”
Ayat di atas merupakan perintah untuk mengikuti ajaran Ibrahim AS. Dan khitan merupakan salah satu ajarannya.
- Hadis yang diriwayatkan Aisyah R.A
“Jika dua khitan bertemu, maka wajiblah mandi. Aku dan Nabi SAW pernah mengerjakannya, maka kamipun mandi.”
Hadis ini mengindikasikan bahwa bahwa perempuan di Arab pada saat itu juga berkhitan.
- Hadis dari Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah.
Seorang perempuan di Madinah mengkhitan (seorang perempuan), Nabi Muhammad SAW. bersabda kepadanya: “Janganlah berlebihan (memotongnya), karena ia adalah bagian kenikmatan bagi perempuan dan menambah kecintaan suami.” (H.R Abu Dawud).
Golongan yang Menganggap Sunnah Khitan Perempuan
Berikut adalah dalil yang digunakan sebagai landasan para pengikut mazhab Hanafi, Maliki (Imam Ahmad), satu pendapat yang Syadz dari mazhab Syafi’i, dan Zahiri mengenai khitan perempuan adalah sunnah.
- Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda;
“Ada lima hal yang merupakan fitrah: Khitan, membuang bulu kemaluan, memendekkan kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.”
Adapun yang dimaksud fitrah disini adalah khitan itu hukumnya bukan wajib, oleh karena itu dalam hadis ini Rasulullah SAW menyebutnya bersamaan dengan hal-hal yang disunnahkan. Hadis ini bersifat umum, tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan.
- Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Khitan itu adalah sunnah bagi kaum laki-laki dan kehormatan bagi kaum perempuan”.
Hadis ini menunjukkan bahwa khitan itu tidak wajib, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Sedangkan yang dimaksud dengan “kehormatan bagi perempuan” bahwa ia adalah sesuatu yang dianggap baik untuk mereka, dan tidak ada satu nas agamapun yang menyatakan wajib atau istihbabnya.
Golongan yang Menganggap Sekadar Anjuran atau Mubah
Sedangkan yang berpendapat khitan diwajibkan bagi laki-laki dan merupakan kehormatan bagi perempuan, berdalil dengan dalil-dalil kelompok pertama, dan mengatakan bahwa khitan bagi laki-laki lebih kuat, karena khitan bagi laki-laki tujuannya membersihkan sisa air seni dan najis yang terdapat pada kulup. Sedangkan suci dari najis merupakan syarat sah shalat.
Khitan bagi perempuan hanyalah untuk mengecilkan dan menstabilkan syahwatnya, yang ini hanyalah untuk mencari sebuah kesempurnaan dan bukan sebuah kewajiban.
Yusuf al-Qardhawi di dalam Fatawa Mu’ashirah mengungkapkan bahwa para ulama sepakat akan kebolehannya. Jadi tidak ada satupun ulama yang mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah sesuatu yang diharamkan.
Oleh karenanya, tidak dipandang baik seseorang yang mencela orang yang melakukannya atau menganggapnya telah melakukan perbuatan melawan hukum, kecuali jika dilakukan secara berlebihan hingga salah satu pihak merasa dirugikan. Namun, dalam Islam ada batasan melakukan khitan perempuan.
Qiyas
Meski dalam buku-buku fiqh jarang ditemukan ulama yang menggunakan dalil qiyas (analogi) untuk masalah ini, namun dalam beberapa diskusi tentang khitan perempuan, beberapa peserta mencoba menggunakan qiiyas sebagai dalil wajibnya hukum khitan perempuan.
Mereka melihat, ketika khitan laki-laki wajib dengan beberapa teks pendukung dan bukti fisik dan medis akan manfaat khitan laki-laki, terutama ketika laki-laki yang tidak dikhitan akan mengakibatkan adanya sisa air seni yang najis yang tertahan pada kulup, maka analoginya perempuan juga demikian.